Mengunjungi Sambas Belum lengkap bila tidak mengunjungi salah satu kesultanan di Kalimantan Barat, yaitu Kesultanan Sambas, Kesultanan Sambas berada di Desa Dalam Kaum, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas. Kerajaan ini persis berada di tepian sungai sambas. Setelah melewati sebuah gapura, para pengunjung kemudian akan disambut
dengan berbagai peninggalan sejarah Kesultanan Sambas yang terletak di
halaman istana, seperti tiga meriam yang seperti selalu siap untuk
menjaga keberadaan istana ini. Sebelum mencapai gapura kedua, di sisi
kanan para pengunjung dapat menjumpai Mesjid Jami' Sultan Syafiuddin
yang kokoh hangat berdiri menyambut siapapun yang berniat untuk
beribadah ke dalamnya.
Bagian dalam ruangan istana ini sendiri terbagi atas tiga bgian umum,
bagian depan, bagian tengah dan bagian belakang. Dengan nuansa warna
kuning khas melayu yang mendominasi di penjuru ruangan, para pengunjung
dapat melihat berbagai foto, ruang kamar tempat tinggal para pengisi
istana maupun bukti-bukti sejarah yang menceritakan mengenai keberadaan
Kesultanan Sambas semenjak dulu. Walaupun tidak selalu berada di tempat,
pengunjung dapat menemui seorang penjaga istana yang biasanya akan mau
berbaik hati untuk menceritakan sekilas mengenai sejarah berdirinya
istana tersebut.
Istana Alwatzikhoebillah |
Masjid Jami' Sultan Syafiuddin |
Sejarah Kesultanan Sambas
Sebelum berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun 1671 M, di wilayah
Sungai Sambas ini sebelumnya telah berdiri kerajaan-kerajaan yang
menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya. Berdasarkan data-data
yang ada, urutan kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Sungai Sambas
dan sekitarnya sampai dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia
adalah :Kerajaan Wijaya Pura sekitar abad 7 M - 9 M. Kerajaan Nek Riuh
sekitar abad 13 M - 14 M. Kerajaan Tan Unggal sekitar abad 15 M.
Panembahan Sambas pada abad 16 M. Kesultanan Sambas pada abad 17 M - 20
M.
Secara otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M
yaitu sebagaimana yang tercantum dalam kitab Negarakertagama karya
Prapanca pada masa Majapahit (1365 M). Kemungkinan besar bahwa Kerajaan
Sambas saat itu rajanya bernama Nek Riuh. Walaupun secara otentik
Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun demikian berdasarkan
benda-benda arkeologis (berupa gerabah, patung dari masa Hindu)yang
ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa
pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di wilayah ini diyakini telah berdiri
sebuah kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah
Sambas yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas
dunia, sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di
wilayah Sungai Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih
kurang bersamaan dengan masa berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu
Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura.
Kedatangan rombongan bangsawan Majapahit di Sambas dapat berjalan mulus
tanpa menimbulkan konflik bukanlah hanya karena wilayah Sambas pada
waktu itu tidak be-raja (tidak mempunyai penguasa) setelah era Raja Tan
Unggal, tapi lebih disebabkan karena penduduk Sambas pada waktu itu
mempunyai kepercayaan yang sama dengan rombongan Majapahit tersebut,
yakni Hindu. Hindu sudah berkembang di Nusantara sejak berdirinya
Kerajaan Kutai Martadipura (era pemerintahan Mulawarman) sampai kepada
Kerajaan Kutai Kartanegara. Wajar kalau pengaruhnya sampai ke wilatah
Sambas. Jadi pada waktu itu belum ada istilah “melayu atau dayak”.
Istilah atau penyebutan itu ada setelah masuknya Islam. Penduduk yang
kemudian masuk Islam dinamakan "Melayu" dan penduduk yang masih menganut
Hindu (Kaharingan) dinamakan "Dayak" (Dayak artinya "orang hulu", yakni
orang yang tinggal di hulu sungai atau pedalaman). Disebut orang
pedalaman atau hulu bukan karena mereka terdesak oleh masuknya Islam
tapi karena memang mereka belum tersentuh oleh syiar Islam, disebabkan
mereka tinggal jauh di pedalaman. Pada waktu itu Islam umumnya memang
disyiarkan oleh pedagang-pedagan dari Gujarat, Hadramaut dan dari
Tiongkok (armada Laksamana Cheng Ho). Pedagang-pedagang dan penjelajah
lautan ini hanya singgah dan berdagang di daerah pesisir.
Rombongan dari pulau Jawa (Majapahit) ini pertama kali mendarat disebuah
tempat yang dinamakan Pangkalan Jambu, sebuah tempat yang berada di
Kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas yang sekarang. Itulah sebabnya daerah
tempat mendaratnya rombongan bangsawan dari Jawa Dwipa ini dinamakan
Jawai sampai sekarang.
Sedangkan sejarah berdirinya Kesultanan
Sambas bermula di Kesultanan Brunei yaitu ketika Sultan Brunei ke-9
--Sultan Muhammad Hasan-- wafat pada tahun 1598 M, maka kemudian putra
Baginda yang sulung menggantikannya dengan gelar Sultan Abdul Jalilul
Akbar. Ketika Sultan Abdul Jalilul Akbar telah memerintah puluhan tahun
kemudian muncul saingan untuk menggantikan dari Adinda Sultan Abdul
Jalilul Akbar yang bernama Pangeran Muda Tengah. Untuk menghindari
terjadinya perebutan kekuasaan maka Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar
membuat kebijaksanaan untuk memberikan sebagai wilayah kekuasaan
Kesultanan Brunei yaitu daerah Sarawak kepada Pangeran Muda Tengah. Maka
kemudian pada tahun 1629 M, Pangeran Muda Tengah menjadi Sultan di
Sarawak sebagai Sultan Sarawak pertama dengan gelar Sultan Ibrahim Ali
Omar Shah yang kemudian Baginda lebih populer di kenal dengan nama
Sultan tengah atau Raja Tengah yaitu merujuk kepada gelaran Baginda
sebelum menjadi Sultan yaitu Pangeran Muda Tengah.
Setelah
sekitar 2 tahun memerintah di Kesultanan Sarawak yang berpusat di Sungai
Bedil (Kota Kuching sekarang ini), Baginda Sultan Tengah kemudian
melakukan kunjungan ke Kesultanan Johor. Saat itu di Kesultanan Johor
yang menjadi Sultan adalah Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang)dimana
Permaisuri Sultan Abdul Jalil ini adalah Mak Muda dari Sultan Tengah.
Sewaktu di Kesultanan Johor ini terjadi kesalahpahaman antara Baginda
Sultan Tengah dengan Sultan Abdul Jalil sehingga kemudian membuat
Baginda Sultan Tengah dan rombongannya harus pulang dengan tergesa-gesa
ke Sarawak sedangkan saat itu sebenarnya bukan angin yang baik untuk
melakukan pelayaran. Oleh karena itulah maka ketika sampai di laut lewat
dari Selat Malaka, kapal rombongan Baginda Sultan Tengah ini dihantam
badai yang sangat dahsyat. Setelah terombang-ambing di laut satu hari
satu malam, setalah badai mereda, kapal Baginda Sultan Tengah tenyata
telah terdampar di pantai yang adalah wilayah kekuasaan Kesultanan
Sukadana. Pada saat itu yang menjadi Sultan di Kesultanan Sukadana
adalah Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika) yang baru saja
kedatangan Tamu Besar yaitu utusan Sultan Makkah (Amir Makkah) yaitu
Shekh Shamsuddin yang mengesahkan gelaran Sultan Muhammad Shafiuddin
ini. Sebelum ke Kesultanan Sukadana, Shekh Shamsuddin telah berkunjung
pula ke Kesultanan Banten yang juga mengesahkan gelaran Sultan Banten
pada tahun yang sama.
Baginda Sultan Tengah dan rombongannya
kemudian disambut dengan baik oleh Baginda Sultan Muhammad Shafiuddin
(Digiri Mustika. Setelah tinggal beberapa lama di Kesultanan Sukadana
ini, setelah melihat perawakan dan kepribadian Baginda Sultan Tengah
yang baik, maka kemudian Sultan Muhammad Shafiuddin mencoba menjodohkan
Adindanya yang dikenal cantik jelita yang bernama Putri Surya Kesuma
dengan Baginda Sultan Tengah. Sultan Tengah pun kemudian menerima
perjodohan ini sehingga kemudian menikahlah Baginda Sultan Tengah dengan
Putri Surya Kesuma dengan adat kebesaran Kerajaan Kesultanan Sukadana.
Setelah menikah dengan Putri Surya Kesuma ini Baginda Sultan Tengah
kemudian memutuskan untuk menetap sementara di Kesultanan Sukadana
sambil menunggu situasi yang aman di sekitar Selat Malaka menyusul
adanya ekspansi besar-besaran dari Kesultanan Johor dibawah pimpinan
Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) di wilayah itu. Dari pernikahannya
dengan Putri Surya Kesuma ini Baginda Sultan Tengah kemudian memperoleh
seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Sulaiman.
Setelah sekitar 7 tahun menetap di Kesultanan Sukadana dan situasi di
sekitar Selat Malaka masih belum aman dari ekspansi Sultan Abdul Jalil
Johor (Raja Bujang) itu, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan
untuk berpindah dari Kesultanan Sukadana untuk menetap di tempat baru
yaitu wilayah Sungai Sambas karena sebelumnya Baginda Sultan Tengah
telah mendengar sewaktu di Sukadana bahwa di sekitar Sungai Sambas
terdapat sebuah Kerajaan yang berhubungan baik dengan Kesultanan
Sukadana yaitu Panembahan Sambas.
Maka kemudian pada tahun 1638 M
berangkatlah rombongan Baginda Sultan Tengah beserta keluarga dan
orang-orangnya dengan menggunakan 40 perahu yang lengkap dengan alat
senjata dari Kesultanan Sukadana menuju Panembahan Sambas di Sungai
Sambas. Setelah sampai di Sungai Sambas, rombongan Baginda Sultan Tengah
ini kemudian disambut dengan baik oleh Raja Panembahan Sambas saat itu
yaitu Ratu Sapudak. Rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian
dipersilahkan oleh Ratu Sapudak untuk menetap di sebuah tempat tak jauh
dari pusat pemerintahan Panembahan Sambas.
Tidak lama setelah
Baginda Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya tinggal di
Panembahan Sambas, Ratu Sapudak kemudian meninggal secara mendadak.
Sebagai penggantinya maka kemudian diangkatlah keponakan Ratu Sapudak
yang bernama Raden Kencono (Anak Ratu Timbang Paseban). Raden Kencono
ini adalah juga menantu dari Ratu Sapudak karena mengawini anak Ratu
Sapudak yang perempuan bernama Mas Ayu Anom. Setelah menaiki tahta
Panembahan Sambas, Raden Kencono ini kemudian bergelar Ratu Anom
Kesumayuda.
Setelah sekitar 10 tahun Baginda Sultan Tengah
menetap di wilayah Panembahan Sambas dan anaknya yang sulung yaitu
Sulaiman sudah beranjak dewasa maka kemudian Sulaiman dijodohkan dan
kemudian menikah dengan anak perempuan Almarhum Ratu Sapudak yang bungsu
bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan inilah maka Sulaiman kemudian
dianugerahkan gelaran Raden oleh Panembahan Sambas sehingga nama
menjadi Raden Sulaiman dan selanjuntnya tinggal di lingkungan Keraton
Panembahan Sambas bersama Mas Ayu Bungsu. Dari pernikahannya dengan Mas
Ayu Bungsu ini, Raden Sulaiman memperoleh seorang anak pertama yaitu
seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Bima. Raden
Sulaiman kemudian diangkat oleh Ratu Anom Kesumayuda menjadi salah satu
Menteri Besar Panembahan Sambas bersama dengan Adinda Ratu Anom
Kesumayuda yang bernama Raden Aryo Mangkurat.
Tidak lama setelah
kelahiran cucu Baginda Sultan Tengah yaitu Raden Bima, dan setelah
melihat situasi yang sudah mulai aman di sekitar Selat Malaka apalagi
setelah melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman telah menikah
dan mandiri bahkan telah menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas, maka
Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali ke
Negerinya yang telah begitu lama di tinggalkannya yaitu Kesultanan
Sarawak. Maka kemudian berangkatlah Baginda Sultan Tengah beserta
istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain
(Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi
Putri dan Ratna Dewi beserta orang-orangnya yaitu pada sekitar tahun
1652 M.
Ditengah perjalanan ketika telah hampir sampai ke Sarawak
yaitu disuatu tempat yang bernama Batu Buaya, secara tiba-tiba Baginda
Sultan Tengah ditikam dari belakang oleh pengawalnya sendri, pengawal
itu kemudian dibalas tikam oleh Baginda Sultan Tengah hingga pengawal
itu tewas. Namun demikian luka yang di tubuh Sultan Tengah terlalu parah
sehingga kemudian Baginda Sultan Tengah bin Sultan Muhammad Hasan pun
wafat. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian setelah di sholatkan
kemudian dengan adat kebesaran Kesultanan Sarawak oleh Menteri-Menteri
Besar Kesultanan Sarawak, dimakamkan di lereng Gunung Sentubong. Adapun
Putri Surya Kesuma setelah kewafatan suaminya yaitu Almarhum Sultan
Tengah, kemudian memutuskan untuk kembali ke Kesultanan Sukadana yaitu
tempat dimana ia berasal bersama dengan keempat anaknya.
Di
Panembahan Sambas, sepeninggal Ayahnya yaitu Baginda Sultan Tengah,
Raden Sulaiman mendapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom
Kesumayuda yang juga adalah Menteri Besar Panembahan Sambas yaitu Raden
Aryo Mangkurat. Tentangan dari Raden Aryo Mangkurat yang sangat fanatik
hindu ini karena iri dan dengki dengan Raden Sulaiman yang semakin kuat
mendapat simpati dari para pembesar Panembahan Sambas saat karena baik
prilakunya dan bagus kepemimpinannya dalam memagang jabatan Menteri
Besar disamping itu Raden Sulaiman ini juga sangat giat menyebarkan
Syiar Islam di lingkungan Keraton Panembahan Sambas yang mayoritas masih
menganut hindu itu sehingga dari hari ke hari semakin banyak petinggi
dan penduduk Panembahan Sambas yang masuk Islam sehingga Raden Sulaiman
ini semakin dibenci oleh Raden Aryo Mangkurat.
Tekanan terhadap
Raden Sulaiman oleh Raden Aryo Mangkurat ini kemudian semakin kuat
hingga sampai pada mengancam keselamatan Raden Sulaiman beserta
keluarganya sedangkan Ratu Anom Kesumayuda tampaknya tidak mampu berbuat
dengan ulah adiknya itu. Maka Raden Sulaiman kemudian memtuskan untuk
hijrah dari pusat Panembahan Sambas dan mencari tempat menetap yang
baru. Maka kemudian pada sekitar tahun 1655 M, berangkatlah Raden
Sulaiman beserta istri dan anaknya serta orang-orangnya yaitu sebagian
orang-orang Brunei yang ditinggalkan Ayahnya (Sultan Tengah) ketika akan
pulang ke Sarawak dan sebagian petinggi dan penduduk Panembahan Sambas
yang setia dan telah masuk Islam.
Dari pusat Panembahan Sambas
ini (sekarang disebut dengan nama Kota Lama), Raden Sulaiman dan
rombongannya sempat singgah selama setahun di tempat yang bernama Kota
Bangun dan kemudian memutuskan untuk menetap di suatu tempat lain yang
kemudian bernama Kota Bandir. Setelah sekitar 4 tahun menetap di Kota
Bandir ini, secara tiba-tiba, Ratu Anom Kesumayuda datang menemui Raden
Sulaiman dimana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia dan sebagian
besar petinggi dan penduduk Panembahan Sambas di Kota Lama akan
berhijrah dari wilayah Sungai Sambas ini dan akan mencari tempat menetap
yang baru di wilayah Sungai Selakau karena ia (Ratu Anom
Kesumayuda)telah berseteru dan tidak sanggup menghadapi ulah adiknya
yaitu Raden Aryo Mangkurat di Kota Lama. Untuk itulah Ratu Anom
Kesumayuda kemudian menyatakan menyerahkan kekuasaan di wilayah Sungai
Sambas ini kepada Raden Sulaiman dan agar melakukan pemerintahan di
wilayah Sungai Sambas ini.
Sekitar 5 tahun setelah mendapat
mandat penyerahan kekuasaan dari Ratu Anom Kesumayuda maka setelah
berembug dengan orang-orangnya dan melakukan segala persiapan yang
diperlukan, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah
Kerajaan baru. Maka kemudian pada sekitar tahun 1671 M Raden Sulaiman
mendirikan Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan
pertama Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin yaitu
mengambil gelar dari nama gelaran Abang dari Ibundanya (Putri Surya
Kesuma) yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika, Sultan
Sukadana. Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas ini adalah ditempat yang
baru di dekat muara Sungai Teberrau yang bernama Lubuk Madung.
Setelah memerintah selama sekitar 15 tahun yang di isi dengan melakukan
penataaan sistem pemerintahan dan pembinaan hubungan dengan
negari-negeri tetangga, pada tahun 1685 Sultan Muhammad Shafiuddin
(Raden Sulaiman) mengundurkan diri dari Tahta Kesultanan Sambas dan
mengangkat anak sulungnya yaitu Raden Bima sebagai penggantinya dengan
gelar Sultan Muhammad Tajuddin.
Sekitar setahun setelah
memerintah sebagai Sultan Sambas ke-2, Sultan Muhammad Tajuddin (Raden
Bima), atas persetujuan dari Ayahnya (Raden Sulaiman) kemudian
memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke
suatu tempat tepat di depan percabangan 3 buah Sungai yaitu Sungai
Sambas, Sungai Teberrau dan Sungai Subah. Tempat ini kemudian disebut
dengan nama "Muare Ulakkan" yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan
Sambas seterusnya yaitu dari tahun 1685 M itu hingga berakhirnya
pemerintahan Kesultanan Sambas pada tahun 1956 M atau sekitar 250 tahun.
Kerajaan Banjar menaungi wilayah Sungai Sambas dimulai dari awal abad
ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu
hindu Sambas yang berkuasa di wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu
hindu Sambas itu kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-17 dan
digantikan oleh Panembahan Sambas hindu yang menguasai wilayah Sungai
Sambas itu selanjutnya. Panembahan Sambas hindu ini didirikan oleh
orang-orang Jawa yang merupakan Bangsawan Jawa dari Raja Majapahit
Wikramawardhana. Sejak berdirinya Panembahan Sambas hindu bernaung
dibawah Kesultanan Sukadana hingga awal abad ke-17 M dan selanjutnya
beralih bernaung dibawah Kesultanan Johor.Panembahan Sambas hindu ini
kemudian runtuh dan berdirilah Kesultanan Sambas.Kesultanan Sambas yang
didirikan pada sekitar tahun 1675 M oleh keturunanan Sultan Brunei
melalui Sultan Tengah dari Kesultanan Brunei. Sejak berdirinya
Kesultanan Sambas adalah berdaulat penuh yaitu tidak pernah bernaung
atau membayar upeti pada Kerajaan manapun hingga kemudian baru pada
tahun 1855 M (pada masa Sultan Umar Kamaluddin, Sultan Sambas ke-12)
Kesultanan Sambas mulai dikendalikan pemerintahannya oleh Hindia Belanda
(seperti juga seluruh Kerajaan-Kerajaan yang ada di Indonesia ini pada
masa itu terutama di Pulau Jawa). Sehingga sejak masa Sultan Sambas
pertama (1675) hingga masa Sultan Sambas ke-11 (1855) yaitu selama 180
tahun, Kesultanan Sambas itu berdaulat penuh yaitu tidak ada pihak
manapun yang menaungi, mengendalikan apalagi menguasai Kesultanan
Sambas.
Jadi Kesultanan Sambas berbeda dengan Panembahan Sambas
apalagi Kerajaan Melayu hindu Sambas yang bernaung kepada Kerajaan
Banjar itu. Sedangkan Kesultanan Sambas tidak pernah bernaung dibawah
Kerajaan manapun yang mana Sultan-Sultan Sambas itu adalah Keturunan
Nabi Muhammad Saw (Ahlul Bayt) melalui Sultan-Sultan Brunei. Sedangkan
yang tercantum dalam Kitab Negarakertagama itu adalah Kerajaan Sambas
kuno yang menunjukkan bahwa paling tidak sekitar abad ke-13 M di wilayah
Sungai Sambas telah berdiri Kerajaan yang cukup besar. Sedangkan
Kesultanan Sambas adalah Dinasti Penguasa di Sungai Sambas yang paling
akhir masanya dimana pada masa berdirinya Kesultanan Sambas, Kerajaan
Majapahit telah runtuh sedangkan Kesultanan Banten dan Kesultanan Demak
kekuasaannya tidak sampai ke Kesultanan Sambas apalagi Kesultanan
Mataram terlalu lemah yang kemudian pecah menjadi 3 buah Kesultanan yang
kecil-kecil (Yogyakarta, Mangkunegara dan Surakarta). Bahkan Kesultanan
Sambas selama sekitar 100 tahun yaitu dari paruh pertama abad ke-18
hingga paruh pertama abad ke-19 M merupakan Kerajaan Terbesar di wilayah
pesisir Barat Pulau Borneo ini (Kalimantan Barat) hingga kemudian
Hindia Belanda masuk ke wilayah pesisir Barat Pulau Borneo ini pada awal
abad ke-19 M dimana pihak Hindia Belanda ini yang membuat besar
Kesultanan Pontianak sehingga kemudian Kesultanan Pontianak menggantikan
posisi Kesultanan Sambas sebagai Kerajaan Terbesar di wilayah ini pada
masa itu.
Sejak bulan Februari 2008, pemangku Istana Alwatzikhoebillah
dipercayakan kepada Pangeran Ratu M. Tarhan Winata Kesuma.
Sumber :
https://www.facebook.com/327994650637217/posts/sejarah-kesultanan-sambassebelum-berdirinya-kesultanan-sambas-pada-tahun-1671-m-/327999683970047/
https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-1512965/sejarah-panjang-kesultanan-sambas/1